Suasana emosional rumah bisa merangsang anak untuk belajar dan mengembangkan kemampuan kecerdasannya yang sedang tumbuh. Atau sebaliknya suasana rumah juga bisa menghambat serta mengumpulkan pertumbuhan kreativitas. Hubungan orang tua dengan anak, dan bakat – bakatnya akan menentukan sebagian besar kemampuan belajar di kemudian hari.
Bagaimana seharusnya mengatur suasana rumah tangga yang ideal yang memungkinkan pertumbuhan kecerdasan secara maksimal. Sebab setiap anak berbeda satu sama lain dan membutuhkan suasana yang berbeda pula. Demikian pula sifat – sifat orang tua dan keluarga berlainan satu sama lain. Tetapi riset yang pernah dibuat bisa memberikan pegangan pokok, bagaimana bisa membuat rumah sebagai tempat yang merangsang kreativitas dan mengembangkan kecerdasan anak.
Banyak riset menunjukkan, kecerdasan anak akan berkembang lebih baik, bila sikap orang tua dalam rumah tangga terhadap anak hangat dan demokratis. Dalam suatu pengamatan, umpama saja, anak yang hidup dalam suasana orang tua yang memusuhinya, acuh serta membatasi geraknya, ternyata I.Q. anak tersebut mundur beberapa angka dalam jangka waktu tiga tahun. Sebaliknya di rumah yang orang tua nya bersikap hangat, penuh kasih sayang, menerangkan segala tindakan mereka kepada si anak, memberi anak kesempatan ikut mengambil keputusan, menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan anak, serta memperhatikan sekali prestasi, ternyata terjadi peningkatan I.Q. rata – rata 8 angka.
Ini tidak berarti orang tua memberikan anak kebebasan penuh, lari kesana kemari, ugal – ugalan dan menganggu orang lain. Juga tidak berarti, anak harus diberi suara yang sama dengan ayahnya dalam mengambil keputusan keluarga. Juga tidak berarti, bahwa suasana rumah harus terpusatkan pada si anak. Yang dimaksudkan adalah orang tua harus mencintai anak sepenuh hati, dan tunjukkan hingga dia merasakan berkobarnya kasih sayang itu. (kalau seorang anak merasa tidak dicintai dan selalu dibantah oleh orang tuanya sendiri, bagaimana mungkin dia akan berani menghadapi gurunya dan mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dalam mencoba menjawab soal – soal di sekolah?).
Rumah yang hangat dan demokratis berarti juga memperhatikan kepentingan si anak dalam merencanakan kegiatan – kegiatan keluarga dan memberikan suara ikut menentukan dalam hal dirinya sendiri. Pokoknya tujuan orang tua adalah mengembangkan anak menjadi manusia yang cerdas dan mampu menganalisa sesuatu serta bertindak secara tepat, dan bukannya membuat anak sebagai binatang piaraan yang menaati segalanya tanpa mengajukan pertanyaan. Bahkan kepada seorang anak berumur 2 tahun, orang tua sudah bisa memberi kesempatan untuk ikut memutuskan. Misalnya saja, “kamu mau pakai baju biru atau merah hari ini?” atau “Kamu mau minum susu atau teh pagi hari ini?”dll.
Sebaiknya orang tua juga menerangkan alasan – alasan peraturan dan keputusan yang dibuat mengenai anak, tetapi tidak dengan cara yang membosankan, tidak dengan cara minta maaf, tidak dengan cara menggurui ataupun yang terlalu sulit bagi umurnya. Dengan demikian anak mulai dilatih membuat evaluasi mengenai kemungkinan – kemungkinan yang ada. Sedikit demi sedikit ia belajar mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan bagaimana caranya mengambil keputusan yang baik berdasarkan informasi tersebut. Dan lambat laun dia akan menyadari, bahwa disiplin dan peraturan yang diberikan kepadanya berdasarkan alasan yang bijaksana dan kasih sayang, bukannya asal begitu saja.
Dr. Kenneth Wann dari Columbia University mengatakan: orang tua harus mempersiapkan anaknya untuk tugas intelektual menyesuaikan diri dengan dunia. Di dalam suasana rumah yang hangat dan penuh pengertian orang tua tidak hanya menempatkan diri sebagai orang tua, tetapi juga sebagai guru pertama dan terbaik bagi anak – anak. Tentu saja bukannya sebagai guru formal, tetapi lebih – lebih guru yang mengajar dengan memberikan teladan, menciptakan suasana yang merangsang, mendengarkan anak dengan penuh perhatian, mengajaknya bercakap – cakap, mencintainya, memberikan kesempatan dia mengenal dunia dengan bimbingan orang tua.
Karena orang tua bukannya guru formal, maka anak juga bukan murid formal yang harus duduk tenang menghadapi bangku. Kebanyakan anak tidak bisa duduk tenang terlalu lama. Inilah juga salah satu alasan mengapa anak sebelum umur 5 tahun dianggap belum siap untuk masuk sekolah. Proses belajar yang pertama lebih banyak disertai kegiatan – kegiatan badaniah. Rumah merupakan tempat belajar yang paling baik. Di rumah anak bisa belajar selaras dengan keinginannya sendiri. Ia tidak perlu duduk menunggu sampai bel berbunyi, tidak perlu harus bersaing dengan anak – anak lain, tidak perlu harus ketakutan menjawab salah di depan kelas, dan bisa menerima penghargaan ataupun pembetulan kalau membuat kesalahan.
Sampai umur 5 tahun otak si anak yang sedang berkembang membuat dia harus belajar hal – hal baru sekaligus memudahkan menerima pelajaran. Dalam umur seperti itu anak suka menirukan segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya. Ini semua merupakan keuntungan besar bagi orang tua untuk berperan sebagai guru. Sayangnya banyak orang tua tidak siap untuk mengajar anaknya, baik karena kurangnya pendidikan formal maupun keterampilannya. Apapun yang dilakukan si ibu untuk memenuhi kehausan si anak akan belajar, selalu bisa menarik minat anaknya dan sekaligus mengarahkan keingintahuan serta energinya.
Minat seorang anak biasanya tidak berlangsung lama. Orang tua tidak perlu berjalan jauh – jauh ataupun menghabiskan waktu banyak untuk membantunya belajar. Umpama saja, sambil mengurus rumah tangga bisa bermain teka teki dengan anak – anak. Bisa mengajaknya menghitung mobil – mobil yang bernomor merah atau hitam pada waktu bepergian ke luar rumah. Orang tua selalu bisa menemukan hal – hal yang bisa digunakan untuk memenuhi keingintahuan anak – anak, dan membantunya belajar. Jalan lain untuk mendorong perkembangan mental anak, yaitu dengan memberikan penghargaan, pujian dan kasih sayang. Hal ini tidak hanya membantu anak berkembang dalam bidang emosi dan hubungan sosialnya, tetapi juga secara efektif akan membantu perkembangan intelektualnya.
Memang tidaklah mudah mengajarkan sikap tertentu kepada anak kecil. Tetapi itu mudah dilakukan dengan jalan memberikan pujian. Orang tua harus selalu memperhatikan setiap kesempatan untuk memberikan pujian. Tetapi pujian palsu tidak akan menyenangkan anak, meskipun ia masih kecil sekalipun. Betapa pun nakalnya atau lambannya anak, orang tua akan selalu menemukan kesempatan untuk memberikan pujian yang beralasan. Kalau orang tua menonjolkan keberhasilan yang dilakukannya daripada mencela kesalahannya, berarti orang tua mengajarnya bekerja berdasarkan kekuatan dan bukan berdasarkan kelemahan serta kejelekan.
Kadang – kadang orang tua sendiri bisa menciptakan suasana yang memungkinkan anak mencatat keberhasilan, dengan demikian orang tua punya kesempatan untuk memberikan pujian. Banyak orang tua memberikan tuntunan terlalu tinggi dengan harapan supaya anaknya berusaha keras mencapai tinggi. Tetapi bila tuntutan itu tidak pernah bisa diraih oleh anak, maka si anak akan merasa jatuh semangatnya, merasa tak mampu dan akhirnya dia tidak mau berusaha lagi. Dalam keadaan seperti itu orang tua harus berhenti memberikan tuntutan yang terlalu tinggi itu. Akan besar sekali manfaatnya kalau orang tua memperlihatkan kepada anak, bahwa orang tua percaya pada kemampuannya. Anak menghargai dan mempercayai sekali penilaian orang tua. Maka kalau orang tua mengatakan, dia “bodoh”, “tidak mampu mengerjakan apa pun”,”anak ternakal di kampung”, atau “tidak mungkin bisa sekolah kalau terus menerus bertingkah demikian”, maka kemungkinan besar anak akan percaya pada penilaian tersebut dan tidak mau berusaha lagi.
Untuk mendorong usaha anak, jangan pernah lagi mencerca, menakut – nakuti, menghukum, ataupun memperolok – olokannya. Dengan demikian anak akan bisa belajar maju dengan santai dan hubungan orang tua dengan anak akan lebih menyenangkan. Berikanlah kesan pada anak, bahwa membuat kesalahan dan kegagalan bukanlah kejahatan, bahwa kesalahan juga merupakan suatu cara untuk belajar. Biasanya anak mencurahkan terlalu banyak energi untuk menghindari jangan sampai membuat kesalahan, dan karenanya kemampuannya menjadi semakin terbelenggu. Tentu saja anak tidak akan lepas dari membuat kesalahan. Tetapi bila orang tua mengajarnya bagaimana mengatasi kesalahan itu, maka dia akan berusaha keras.
Kalau anak menumpahkan minuman, itu bukan suatu bencana besar, ajarilah bagaimana menghapus tumpahan itu. Kalau memecahkan atau merusakan mainan temannya, ajarilah untuk meminta maaf, lalu terangkan kepadanya mengapa mainan pecah, dan bagaimana cara menggunakan mainan supaya tidak rusak. Tetapi ini tentu saja tidak berarti, orang tua harus menghapus semua tanggung jawab si anak kalau dia membuat kesalahan. Orang tua harus mencoba menolongnya untuk melihat apa yang salah dan bagaimana menghindari kesalahan itu. Dan caranya bukan dengan jalan mencerca melainkan dengan jalan mendorong perkembangan akal anak.
Setiap anak mempunyai “gaya hidup” dan “gaya belajar” sendiri, yang menentukan sikapnya terhadap lingkungannya, terhadap orang ditemuinya dan terhadap pengalaman – pengalaman baru. Gaya hidup ini sebagian terbentuk oleh faktor – faktor warisan dan sebagian oleh pengalaman – pengalaman semenjak dia kanak – kanak. Semakin tambah usia anak tersebut, berarti semakin sulit juga untuk mengubah gaya hidupnya. Kebanyakan orang tua tanpa disadari mendorong anaknya membentuk gaya hidup yang justru menghambat proses belajar.
Percakapan antara ibu dengan anak yang amat singkat tanpa memberikan informasi berguna berarti memasung keinginan si anak untuk belajar. Kata – kata yang diucapkan ibu seperti itu biasanya pendek – pendek, sederhana, tidak lengkap dan hanya memberikan informasi umum saja. Conotohnya: “kamu harus melakukannya, karena saya menyuruh” atau “anak perempuan tidak layak bertingkah begitu”. Tetapi ibu yang lebih banyak bicara, menerangkan tingkah laku anak dengan lingkungannya, dan akibatnya yang mungkin timbul karena tingkah laku itu, berarti memberikan pelajaran kepada anak – anaknya untuk memecahkan persoalan. Dengan demikian ia memdorong anaknya berpikir lebih kompleks, lebih luas. Kebanyakan orang tua terlalu mengecilkan kemampuan dan keinginan anak untuk mengetahui pada masa sebelum sekolah. Ternyata pendapat yang demikian itu salah.
Bagaimana orang tua bisa bisa mendorong keinginan besar anak itu untuk belajar? Mungkin dalam hal ini anak akan merasa terbantu oleh orang tua yang mau mendengarkan mereka, berbicara dengan mereka tentang ide – idenya. Orang tua juga bisa membantu anak menyerap serta menata pengertian tentang hal – hal baru yang disaksikannya. Anak akan merasa sangat bahagia kalau orang tua melibatkannya dalam kegiatan serta hobi para orang tua. Menurut penelitian ternyata orang – orang genius kebanyakan berasal dari keluarga dan orang tua yang suka mencoba – coba, menyelidiki dan tidak pernah bisa diam saja. Kalau orang tua menunjukkan banyak keinginan tahuannnya dan suka menyelidiki hal – hal baru, maka anak juga akan terbawa oleh suasana itu.
Kalau orang tua bisa mengerti dan memuaskan kebutuhan anak untuk belajar, mencoba, menyelidiki, menyaksikan, menyentuh, dan sebagainya, maka anak akan jauh lebih mudah untuk dikendalikan. Dia tidak rewel, karena kebutuhan batinnya lebih terpenuhi, dan dia mempunyai kesempatan untuk menyalurkan keingintahuannya yang amat besar itu. Membimbing anak belajar dalam usia anak – anak juga membuat orang tua lebih sayang serta lebih bahagia dengan anaknya. Hubungan emosi antara orang tua dengan anak seperti seorang penyelidik bersama rekannya yang pergi berkelana menyelidiki dunia baru bersama – sama, dan bukannya seperti hubungan antara seorang polisi dengan orang hukuman. Dengan demikian anak tidak merasakan kebutuhan untuk memberontak, kalau dia menginjak masa remaja nanti dan tidak akan mudah meninggalkan orang tua begitu saja, jika sudah menginjak masa muda.
(meningkatkan kecerdasan anak oleh Joan Beck).